Selasa, Juli 12, 2011

Setahun

Sudah satu tahun
Namun jauh dari genap 365 hari aku ada disana
Percayalah jika aku selalu merindu
Untuk sekedar menunggumu pulang bersama segelas teh hangat
(Yes honey, even for that simple thing...)


-Groningen, 13 Juli 2011-

Selasa, Juni 21, 2011

Anak-anak TKW itu.

"With you is where I'd rather be. But we're stuck where we are. And it's so hard, you're so far. This long distance is killing me" (Long Distance, Bruno Mars)

Lantunan lagu di atas mengungkapkan beratnya hari-hari berjauhan dengan pasangan jiwa, dan itu benar adanya...saya tidak akan membahas tentang hal ini, meskipun terkadang out of logic, namun saat ini cukuplah bahwa karena ini adalah kodrat dari Tuhan menjodohkan setiap umatnya dengan pasangan jiwanya masing-masing.

Malam ini wajah menahan segala "rasa sakit"-ku seolah tertampar lagi oleh serangkaian kisah TKW yang menuai prihatin, terlebih kasus alm. ibu Ruyati yang mendapatkan hukuman pancung di Arab Saudi dalam perjuangannya mencari nafkah dengan perngorbanan luar biasa meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk berapa lama? setahun? dua tahun? atau bahkan 5 tahun? "tahun" adalah satuan bagi lama rata-rata para TKW itu dalam perjuangannya dengan motivasi yang mostly adalah faktor ekonomi, demi cinta untuk keluarganya.

Sebuah keluarga idealnya adalah hidup bersama dalam satu rumah bersama-sama, dan ketika itu tidak terjadi maka potensi "kepincangan" akan terbuka. Itu alamiah.
Fakta bahwa suami istri yang tinggal terpisah, dengan kehidupan seks yang tidak normal akan berpengaruh pada psikologis masing2, itu fakta. Fakta bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang riil dari kedua orang tuanya itu juga fakta. Suami istri yang tinggal bersama masih berpotensi untuk terjadi perselingkuhan atas nama berbagai alasan. Anak-anak yang tinggal dengan orang tua lengkap masih berpotensi untuk terjebak narkoba, free seks, kenakalan remaja dll.
Lalu apa yang dapat kita harapkan dari anak-anak saudara-saudara kita yang terpaksa menjadi TKW atau PRT yang mostly berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah ini?
Berapa banyakkah jumlah mereka?
RIBUAN yang menjadi TKW, RIBUAN atau bahkan JUTAAN yang menjadi PRT, lalu berapa jumlah anak-anak yang ditinggal di DAERAH? dengan pendidikan minimalis yang disediakan pemerintah?
Berapa besar jumlah potensi anak-anak yang akan menjadi estafet pembangunan ke depan?
Adakah potensi mereka mengikuti jejak orang tuanya?
Adakah potensi mereka untuk menjadi kriminal?
Adakah potensi mereka menjadi pengangguran non-skilled, atau malah ada yang tidak seimbang kejiwaannya karena beban hidup yang terlalu berat?
Apakah jawaban kita untuk semua pertanyaan itu...


Mari kita bermain peran sebentar, seandainya kita menjadi mereka, dimana kita hanya bisa mendengar berita tentang kenakalan yg dilakukan oleh anak kita tanpa bisa menasehati karena kita tidak memperhatikan mereka dari hari kehari dan tidak bersama mereka ketika mereka demam atau sakit, atau sekedar bermasalah dengan teman2nya. Kita tidak bisa mendampingi suami ketika dia sakit, ketika sedang stres, dan ketika2 yang lain. Lalu apa yang kita harapkan dari jenis pekerjaan yg seperti ini?…Uang? seberapa banyakkah?...Tanpa keterpaksaan tentu ini sama sekali bukanlah pilihan!

Lalu apa sajakah yang dipikirkan dan dilakukan oleh anggota2 dewan dan pemerintah di atas sana atas fakta-fakta ini? Bertahun-tahun, kisah berulang, lagi dan lagi dengan cerita tragis yang berbeda-beda, dan masihkah mereka hanya berdebat berkepanjangan, tetap mengurus hal-hal yang tidak penting dibanding semua masalah mendasar bangsa ini?

Tuhan, rasanya aku sudah pernah berjanji untuk berhenti mengomel, namun beberapa malam ini hatiku sakit lagi, mungkin juga pengaruh PMS. Namun yach...aku hanya mampu berharap semoga anak2 mereka bisa tumbuh dan berkembang di luar perhitungan -negatif- saya di atas. Bahwa anak-anak itu akan menjadi anak2 dengan mental baja yang tidak terpengaruh lingkungan seburuk apapun, akan menjadi orang2 yang menghargai alam karena dari sanalah mereka banyak bergantung, akan menjadi orang2 yang menghargai artinya perbedaan, akan menjadi orang2 yang cerdas dan ulet karena tertempa kemiskinan dan akan menjadi ‘super kreatif’ karena ‘ketiadaan’, Amiin...

Rabu, Mei 04, 2011

DPR = wakilnya rakyat = wakilnya saya!

Pemuda 1: "MasyaAllah, malu2in banget sih anggota2 DPR itu. Udah pake duit rakyat milyaran untuk studi banding tp hasilnya mana coba? Ditanya apa, jawabnya apa. Emailnya itu loh malu2in, mosok email yahoo, sumpah gw baru tahu klo DPR itu gak punya yang resmi gitu!"

Pemuda 2: "Gw jg geregetan banget pas liat di youtube tadi. Untung aja dulu gw golput, karena gw takut kejadian yg begini"

Penjual nasi: "Eh kenapa sih kok pada ribut ama anggota DPR mas? tadi rombongan sebelumnya jg pd ngomongin itu. Emang dulu pada milih siapa mas n mbak? Kalau saya sih milih pak A, dia ngasihnya paling gede 50rb udah gitu dapet nasi bungkus, kalo pak B itu cuma ngasih duit doang, apalagi pak C dia cuma ngasih duit 20rb ama kaos"

Suami penjual nasi: "Ibu kebalik, yang ngasih 20rb ama kaos itu pak B, pak C itu ngasih 25rb"

Tukang ojek yang sedang makan ikut nyeletuk: "Kalau di kampung saya mah yang kepilih tuh pak D namanya, orangnya baik banget, dia nyumbang buat mesjid, bangunin jembatan, tukang2 ojek juga dibagi2 duit, istri saya juga dibagi jilbab pas pengajian, udah gitu dia ngasih paket bantuan buat sekolah anak2"
---------------------

Jika saat ini sebagian kita merasa "dipecundangi" oleh wakil2 kita di senayan, merasa ternyata mereka sangat tidak layak untuk mewakili kita, merasa bahwa mereka koruptor karena menghabiskan anggaran lebih dr yg semestinya dan bahkan tidak pada tempatnya, namun berapakah sebenarnya jumlah "kita" dibandingkan dengan jumlah keseluruhan rakyat Indo yang diwakili oleh tukang nasi dan tukang ojek di atas?? Jangan2 kita memang minoritas, dan mereka adalah mayoritas, sehingga tidak salah jika anggota2 dewan yang terhormat itulah yang saat ini layak menjadi wakil rakyat Indonesia dimana pengetahuan dan wawasan mayoritas rakyatnya masih "sebegitu", ditambah lagi yang minoritas ini dulu jg banyak yang golput ketika pemilu, jadi sangat wajar jika memang ini yang kita hadapi saat ini. Bukan tidak mungkin jangan2 ada saudara, kerabat, teman, temannya teman dll yg kita kenal yang termasuk dalam 70rbx16 org konstituen yang disebut pak Abdul Kadir Karding sebagai pemilih beliau dkk, yang dia bilang tidak komplain terhadap yang mereka lakukan hingga saat ini.

Bravo untuk PPIA yang dengan sangat cerdas sukses memaksa jutaan mata kita rakyat Indonesia untuk melek, untuk segera mencari cermin (untuk bercermin tentunya) dan bukan cuma mengomel

Link ke PPI Australia tentang kasus ini http://ppi-australia.org/?p=633

Selasa, Maret 08, 2011

Mimpi untuk Anak-anak Desaku

Tuhan, sudikah Engkau bercengkrama lagi denganku malam ini? Malam ini rasanya aku sudah tidak terlalu emosi, aku mampu berfikir dengan sedikit lebih jernih, dan semoga tidak bercampur dengan air mata lagi…

Tuhan, rasanya aku melihat sedikit bagian dari masa depanku. Aku mohon tolong ingatkan jika aku melihat sesuatu yang salah Ya Tuhan. Aku melihat aku ada di kampungku bersama dengan anak2 itu, berkumpul dengan mereka dan saling berbicara tentang mimpi2 mereka. Mimpi2 yang selama ini belum pernah mereka ungkapkan kepada orang lain bahkan kepada orang tua mereka. Sebelumnya aku bercerita tentang Riyanni Djangkaru seorang presenter acara petualangan di salah satu stasiun TV di negriku, aku mengatakan kepada mereka “seandainya ketika aku kecil sudah ada seseorang seperti dia dan acara TV yang seperti saat ini, mungkin aku akan bercita-cita ingin menjadi presenter seperti dia. Dia bisa mengunjungi seluruh tempat2 indah di negri ini dan menyampaikan itu kepada seluruh warga negri, betapa itu adalah satu pekerjaan mulia menyadarkan kita bahwa negri kita memiliki anugrah luar biasa dari Tuhan, yang tentunya harus kita syukuri dengan cara menjaganya”. Ah Tuhan, aku sudah melihat sedikit sorot antusiasme dari mata2 mereka, anak2 di sekolah2 kampung itu. Lalu aku melanjutkan bercerita tentang keberhasilan seorang Bob Sadino sebagai seorang petani yang penampilannya gak kotor dan tidak melulu harus berlumpur karena dia bertani dengan ilmu, juga tentang Anne Avantie dengan bisnis kebayanya, juga tentang Yunna Tan seorang pebisnis roti dan bakery atau Sonny Haji pemilik bisnis bakso paling terkenal di provinsi tempat kami tinggal. Aku juga menyampaikan bahwa ada banyaaaaak sekali profesi2 yang ada di bumi ini yang mungkin mereka tidak tahu selain hanya guru, dokter, polisi, pilot, masinis, nahkoda atau bahkan PNS yang di kampung kami itu disebut sebagai profesi. Aku bercerita lebih banyak lagi tentang contoh2 profesi yang aku harap cukup membuat mereka tertarik untuk mencari tahu dan bisa memancing mereka untuk “berani bermimpi” tentang keinginan mereka menjadi apa di masa depan.

Di lain hari kami beramai2 mengerjakan ketrampilan tangan mulai dari membentuk bermacam2 bentuk gerabah dari tanah liat yang mereka cari sendiri dari sumber2 yang semakin sedikit jumlahnya itu, kemudian ada juga yang menyulam, menjahit, membuat lampion dr kertas, tas2 dari kertas kalender, membuat peta dan hiasan dinding dari koran2 bekas, membuat kerajinan tangan dari pelepah pisang kering, memahat bambu menjadi hiasan dinding dan lain2. Kami menjadwalkan ini rutin setiap 2 minggu sekali.

Di lain hari lagi, kami berkelompok2 untuk memainkan permainan tradisional yang dulu sering aku mainkan bersama teman2 kecilku namun sekarang sudah semakin menghilang. Kami bermain gobak sodor, bentengan, patok lele, samberan, bola kasti dan lain lain. Oh Tuhan, aku baru menyadari bahwa semua permainan itu sangatlah berperan besar dalam proses pendidikan dini. Semua permainan itu mengajarkan kami akan pentingnya kerjasama, kekuatan, keuletan, strategi, dan kreatifitas yang tinggi karena di tengah keterbatasan kami harus mengoptimalkan semua ide untuk menyediakan segala prasarana untuk kami bermain. Kami memanfaatkan bambu tak terpakai, kami memanfaatkan kayu untuk membuat garis, kami memanfaatkan pucuk2 daun sebagai alat untuk bermain (aku lupa nama permainannya apa he2), dan kami juga memanfaatkan kertas kertas bekas untuk membentuk bola kasti. Dan yang pasti kami ingin memenangkan setiap pertandingan, yah kami ingin menjadi pemenang. Dan akhirnya kami semua kelelahan, berkeringat, namun kami semua tertawa bahagia. Kami juga menjadwalkan ini 2 minggu sekali.

Di sela2 itu semua Tuhan…aku juga berkumpul dengan para orang tua mereka. Aku menyampaikan niatku kepada mereka. Aku menyampaikan kegelisahanku kepada mereka. Aku menyampaikan pengalaman2ku selama ini dan pelajaran2 apa yang aku terima dan aku ambil dan ingin aku dedikasikan kepada anak2 di kampungku. Aku adalah anak yang lahir dan besar di kampung yang sama dengan anak2 mereka. Aku juga bersekolah di sekolah yang sama dengan anak2 mereka, diajar oleh guru2 yang sama. Jika aku pernah diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati rezeki yang luar biasa selama ini, maka sekarang adalah saatnya aku berbagi kepada mereka, bahwa anak2 mereka juga pasti layak mendapatkan sesuatu melebihi dari apa yang aku dapatkan. Aku tidak ingin mengajari mereka namun hanya sedikit mengingatkan bahwa tantangan untuk anak2 di era saat ini sangatlah berat dibandingkan dengan masa2 aku kecil. Anak2 harus berjuang di tengah maraknya pornografi, konsumerisme, dan tidak siapnya pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang benar2 patut bagi mereka. “Lalu apa yang harus kami lakukan?” Tanya mereka. “Mari kita bersama2 bergandengan tangan, ada saya, bapak ibu sekalian, bapak ibu guru, dan bapak-ibu pensiunan guru2, pak ustad, pak lurah dan semua yang ada di kampung ini kita bersama2 melakukan yang terbaik untuk anak2 kita” jawabku dengan tersenyum dan berharap penuh. “Saya tidak akan tinggal disini sepenuhnya, karena suami saya tidak tinggal disini tapi insyaAllah saya berjanji untuk mendampingi hingga semua ini berjalan dengan baik”.

Setelah itu Tuhan, kami bersama2 mendirikan perpustakaan, kami menyumbang berapapun semampu kami untuk mengisi perpustakaan itu. Kami juga menyediakan satu papan koran di salah satu lokasi strategis, sehingga anak2 sekolah, bapak ibu dan siapapun bisa membaca koran setiap hari tanpa harus berlangganan sendiri. Dan itu semua dikelola oleh anak2 pemuda pemudinya.

Kami juga mengadakan pertemuan rutin bulanan untuk sekedar berbagi informasi khususnya dengan ibu2, dan kami menyebut ini sebagai forum sekolah ibu. Ibu memiliki peran yang sangat-sangat penting, sehingga harus selalu mengupdate pengetahuan untuk sedikit mengimbangi anak2 mereka berpacu dengan kemajuan jaman. Aku berharap dari forum ini akan ada ide2 usaha kecil yang bernilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan bagi mereka.

Tuhan, aku tidak ingin melakukan ini sebagai pelampiasan keinginan sesaat saja. Aku ingin ini dapat berjalan dengan baik sehingga sedikit memberikan alternatif kegiatan dan konsentrasi anak2 itu yang selama ini telah dikuasai oleh TV (sinetron), internet (facebook), HP (sms dan video), film2 dari VCD bajakan, pacaran, nongkrong dan acara lain yang tidak cukup bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Oh ya, hal penting yang menjadi harapanku adalah bahwa mereka, anak-anak itu, dapat menemukan mimpi2 mereka yang tidak melulu harus lewat sekolah formal namun harus sesuai dengan hati, minat, dan bakat mereka. Membiarkan mereka memilih masa depan mereka sehingga bisa profesional dalam menuntut ilmu dan menjalankan pekerjaan mereka kedepannya. Itu semua untuk kehidupan yang lebih baik, dan untuk negriku yang lebih baik.

Aku menginginkan ada upaya membangun integrated education system yang melibatkan seluruh stake holders mulai dari anak-orang tua-guru-dan seluruh masyarakat. Aku berharap ini akan berjalan dengan baik, dan berhasil sehingga bisa menjadi satu format program bagi kampung2 yang lain, sehingga semakin banyak anak2 yang “terselamatkan” dari dunia kapitalis yang ada saat ini.

Edisi BERMIMPI
Groningen, 3 Maret 2011, 11.50 pm

Minggu, Februari 27, 2011

si "Anak Mataharie" yang sedang galau

Galau dan gelisah...mengapa dua perasaan ini semakin sering datang dalam hari2ku?
Apa karena aku si Anak Matahari? sementara 6 bulan disini aku jarang bertemu dengan the real matahari? Dia jarang muncul, dan sekalinya muncul aku tidak merasakan panas atau bahkan hangatnya...

Mungkin itu sebabnya. Aku merindukan matahari. Aku merindukan hangat dan panasnya. Aku merindukan semangatku yang dulu.

Groningen, 28 Februari 2011.